Lolos moderasi pada: 16 May 2015
Kicauan burung di pagi hari ini sangat menyejukkan hatiku yang sedang gundah.
“Cheiril! Kemari!” panggil Mischa.
“Ada apa, Mischa?”
“Lihat! Ada murid baru!” tunjuknya.
Aku melihat murid baru itu berjalan lenggak-lenggok layaknya model. Dia berjalan dengan sombongnya. Sombong sekali dia! batinku. “Dia di kelas apa?” tanyaku kemudian.
“Hmm…” Mischa tampak berpikir. “Di kelas kita, Cher,” ujarnya memanggilku dengan panggilan akrabku, Cher.
“Apa?!” pekikku kaget.
“Kamu kenapa, Cher?”
“Dia sangat sombong, Cha!”
“Ya, kurasa begitu.”
“Lihatlah cara ia berjalan. Tak pantas menjadi murid di sekolah teladan ini!” seruku berlari meninggalkan Mischa.
Mischa menghela napas, lalu mengejarku. “Cheiril! Tunggu aku!”
“Cheiril! Kemari!” panggil Mischa.
“Ada apa, Mischa?”
“Lihat! Ada murid baru!” tunjuknya.
Aku melihat murid baru itu berjalan lenggak-lenggok layaknya model. Dia berjalan dengan sombongnya. Sombong sekali dia! batinku. “Dia di kelas apa?” tanyaku kemudian.
“Hmm…” Mischa tampak berpikir. “Di kelas kita, Cher,” ujarnya memanggilku dengan panggilan akrabku, Cher.
“Apa?!” pekikku kaget.
“Kamu kenapa, Cher?”
“Dia sangat sombong, Cha!”
“Ya, kurasa begitu.”
“Lihatlah cara ia berjalan. Tak pantas menjadi murid di sekolah teladan ini!” seruku berlari meninggalkan Mischa.
Mischa menghela napas, lalu mengejarku. “Cheiril! Tunggu aku!”
Sesampainya di kelas, banyak anak yang mengerubungi salah satu meja murid di kelasku. Pasti anak itu, gumamku. Aku menerobos masuk kerumunan anak itu. Dan benar saja. “Hei! Main terobos saja! Tidak tahu aturan ya, kamu!” bentak anak baru itu.
“Suka-suka aku dong. Lagipula, kamu kan murid baru,” aku tak mau kalah.
“Mau menantangku rupanya, ya!” Ia berdiri dengan wajah geram.
“Sudah-sudah! Berhenti!” teriak Mischa melerai.
“Mischa?” tanyaku tak percaya.
Mischa mengedipkan sebelah matanya. “Madison, jangan berani-beraninya kamu menantang sahabayku Cheiril, ya! Atau ku adukan kau ke kepala sekolah!” ancam Mischa.
Anak baru yang bernama Madison itu diam seribu bahasa.
“Terima kasih, Mischa. Kamu selalu membelaku,” aku berkata seraya tersenyum.
“Tak masalah, Cher. Sahabat”
“Sahabat!” Aku dan Mischa pun berpelukkan. Tetapi, ada orang yang melihat kami dengan sinis. Ya, siapa lagi kalau bukan Madison?
“Suka-suka aku dong. Lagipula, kamu kan murid baru,” aku tak mau kalah.
“Mau menantangku rupanya, ya!” Ia berdiri dengan wajah geram.
“Sudah-sudah! Berhenti!” teriak Mischa melerai.
“Mischa?” tanyaku tak percaya.
Mischa mengedipkan sebelah matanya. “Madison, jangan berani-beraninya kamu menantang sahabayku Cheiril, ya! Atau ku adukan kau ke kepala sekolah!” ancam Mischa.
Anak baru yang bernama Madison itu diam seribu bahasa.
“Terima kasih, Mischa. Kamu selalu membelaku,” aku berkata seraya tersenyum.
“Tak masalah, Cher. Sahabat”
“Sahabat!” Aku dan Mischa pun berpelukkan. Tetapi, ada orang yang melihat kami dengan sinis. Ya, siapa lagi kalau bukan Madison?
Istirahat pun tiba…
“Mischa! Ke kantin yuk!” ajakku ramah.
Mischa mengangguk lesu.
Aku heran. Kenapa dia? Kami pergi ke kantin bersama. “Kamu kenapa, Mischa?”
Ia menggeleng.
“Ayo, ceritakan saja.” Aku menyeruput sedikit jus jambuku.
“Cheiril, sebenarnya… sebenarnya… aku harus pindah ke Australia. Dan, aku berada disana selama 2-3 tahun lamanya… Aku sangat sedih karena berpisah denganmu… Hiks…,” Mischa menangis.
Tak terasa, air mataku menetes begitu saja di pipiku. Kami berpelukkan sangat erat. “Kapan kamu berangkat, Mischa?”
“Besok pagi…” Mischa tambah menangis sejadi-jadinya.
Kami berpelukkan erat lagi. Aku sedih harus berpisah dengan sahabat kesayanganku ini…
“Mischa! Ke kantin yuk!” ajakku ramah.
Mischa mengangguk lesu.
Aku heran. Kenapa dia? Kami pergi ke kantin bersama. “Kamu kenapa, Mischa?”
Ia menggeleng.
“Ayo, ceritakan saja.” Aku menyeruput sedikit jus jambuku.
“Cheiril, sebenarnya… sebenarnya… aku harus pindah ke Australia. Dan, aku berada disana selama 2-3 tahun lamanya… Aku sangat sedih karena berpisah denganmu… Hiks…,” Mischa menangis.
Tak terasa, air mataku menetes begitu saja di pipiku. Kami berpelukkan sangat erat. “Kapan kamu berangkat, Mischa?”
“Besok pagi…” Mischa tambah menangis sejadi-jadinya.
Kami berpelukkan erat lagi. Aku sedih harus berpisah dengan sahabat kesayanganku ini…
Keesokan harinya…
“Mischa! Tunggu aku!” teriakku memanggik Mischa yang sudah ada di bandara. “Ini,” aku menyodorkan sebuah bingkisan cukup besar kepada Mischa. “Terima ini, dan buka saat kamu sudah di Australia. Jangan lupa komunikasi denganku ya… Sampai jumpa lagi, Mischa… I love you…” aku menangis lagi.
Kami berpelukkan sangaaat erat.
“Sampai jumpa lagi, Cher… Love you, too…”
“Mischa! Tunggu aku!” teriakku memanggik Mischa yang sudah ada di bandara. “Ini,” aku menyodorkan sebuah bingkisan cukup besar kepada Mischa. “Terima ini, dan buka saat kamu sudah di Australia. Jangan lupa komunikasi denganku ya… Sampai jumpa lagi, Mischa… I love you…” aku menangis lagi.
Kami berpelukkan sangaaat erat.
“Sampai jumpa lagi, Cher… Love you, too…”
Pesawat yang ia tumpangipun lepas landas. Disini, aku hanya bisa menangis. Mulai besok, aku harus menghadapi Madison sendiri. Ya sudahlah. Itulah nasibku…
Esoknya di sekolah…
“Heh! Kalau jalan hati-hati dong! Dipakai matanya!” serunya marah.
Aku tak menggubris perkataannya. Bagiku, itu hanya angin lalu. Mataku sudah bengkak karena menangis sehari semalam.
“Heh! Kalau orang ngomong, dijawab dong!” bentaknya lagi.
Aku mendongakkan kepala dan menatap anak itu. Madison, Si Pembuat Ulah.
“Heh Anak Cengeng!” ledeknya lagi.
Aku langsung berlari meninggalkan Madison sendiri.
“Heh! Kalau jalan hati-hati dong! Dipakai matanya!” serunya marah.
Aku tak menggubris perkataannya. Bagiku, itu hanya angin lalu. Mataku sudah bengkak karena menangis sehari semalam.
“Heh! Kalau orang ngomong, dijawab dong!” bentaknya lagi.
Aku mendongakkan kepala dan menatap anak itu. Madison, Si Pembuat Ulah.
“Heh Anak Cengeng!” ledeknya lagi.
Aku langsung berlari meninggalkan Madison sendiri.
“Cheiril, jangan menangis lagi, ya” hibur Fanda kepadaku. Ia duduk di bangku Mischa. “Maafkan aku mengingatkanmu tentang Mischa…”
“Tak apa, Fanda…” Aku mengusap air mataku yang sedari tadi membasahi pipiku.
Tiba-tiba, bu Hani masuk kelas. “Anak-anak, ada perubahan sedikit untuk tempat duduk kalian karena Mischa, teman sekelas kita pindah,” ujar bu Hani memulai pembicaraan. “Cheiril tetap disana, Fanda di samping Alleya, Qiara di samping Naya, Lollita di samping Harun, Keisya di samping Angel, dan terakhir Madison di samping Cheiril,” lanjut bu Hani.
Aku sangat terkejut. Di samping Madison?! Tak mungkin!!! Aku langsung tertunduk lesu. Madison hanya tersenyum kemenangan.
“Tak apa, Fanda…” Aku mengusap air mataku yang sedari tadi membasahi pipiku.
Tiba-tiba, bu Hani masuk kelas. “Anak-anak, ada perubahan sedikit untuk tempat duduk kalian karena Mischa, teman sekelas kita pindah,” ujar bu Hani memulai pembicaraan. “Cheiril tetap disana, Fanda di samping Alleya, Qiara di samping Naya, Lollita di samping Harun, Keisya di samping Angel, dan terakhir Madison di samping Cheiril,” lanjut bu Hani.
Aku sangat terkejut. Di samping Madison?! Tak mungkin!!! Aku langsung tertunduk lesu. Madison hanya tersenyum kemenangan.
“Hei Anak Cengeng! Kita bertemu lagi,” ia tersenyum sinis.
“Huh!” Aku langsung membalasnya dengan membuka buku pelajaran.
Pelajaran bu Hani, Miss Ella, pak Tony dan bu Vira pun berjalan dengan lancar sampai bel istirahat terdengar. Aku masih sangat kesal dengan Madison.
“Huh!” Aku langsung membalasnya dengan membuka buku pelajaran.
Pelajaran bu Hani, Miss Ella, pak Tony dan bu Vira pun berjalan dengan lancar sampai bel istirahat terdengar. Aku masih sangat kesal dengan Madison.
“Fanda, ke kantin yuk!”
“Ayo!” Aku dan Fanda ke kantin, sedangkan Madison di kelas.
“Ayo!” Aku dan Fanda ke kantin, sedangkan Madison di kelas.
“Kamu kenapa, Cher? Kok murung begitu?” tanya Fanda ingin tahu. “Pasti gara-gara Madison, ya?” tebaknya sok tahu.
“Ya, begitulah Fan…” jawabku seadanya.
“Ya, kutahu itu. Pasti kamu sangat sedih.”
Aku mengangguk. “Kamu mau pesan apa, Fan? Biar aku saja yang traktir,” tanyaku.
“Tidak usah, Cher. Aku bayar sendiri saja.”
“Tidak apa, Fanda…”
“Benar? Baiklah. Aku mau jus jeruk dan fettucini saja. Benar tidak apa?” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Terima kasih ya, Cher. Pantas kamu bersahabat dengan Mischa karena kamu cantik, pintar dan baik pula,” puji Fanda tulus.
Aku tersenyum malu. Dan, sesegera mungkin, aku menuju bu kantin dan memesan semuanya. Aku sendiri hanya memesan jus jambu, jus kesukaanku dan waffle mini. Aku memang sedang diet. Menurutku sendiri, bentuk tubuh dengan tinggi 150 cm dan berat 48 kg itu sangat gendut. Maka dari itu, aku mulai program dietnya.
“Nih. Silakan Fanda.” Fanda tersenyum. Kami mengobrol dengan riang. Sesekali juga, kami menyeruput minuman masing-masing.
“Kita ke kelas, yuk!” ajak Fanda. Aku menurut saja. Saat kami sampai di ambang pintu kelas, Fanda pamit untuk ke toilet dulu. Terpaksa, aku masuk ke kelas yang hanya ada Madison.
“Ya, begitulah Fan…” jawabku seadanya.
“Ya, kutahu itu. Pasti kamu sangat sedih.”
Aku mengangguk. “Kamu mau pesan apa, Fan? Biar aku saja yang traktir,” tanyaku.
“Tidak usah, Cher. Aku bayar sendiri saja.”
“Tidak apa, Fanda…”
“Benar? Baiklah. Aku mau jus jeruk dan fettucini saja. Benar tidak apa?” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Terima kasih ya, Cher. Pantas kamu bersahabat dengan Mischa karena kamu cantik, pintar dan baik pula,” puji Fanda tulus.
Aku tersenyum malu. Dan, sesegera mungkin, aku menuju bu kantin dan memesan semuanya. Aku sendiri hanya memesan jus jambu, jus kesukaanku dan waffle mini. Aku memang sedang diet. Menurutku sendiri, bentuk tubuh dengan tinggi 150 cm dan berat 48 kg itu sangat gendut. Maka dari itu, aku mulai program dietnya.
“Nih. Silakan Fanda.” Fanda tersenyum. Kami mengobrol dengan riang. Sesekali juga, kami menyeruput minuman masing-masing.
“Kita ke kelas, yuk!” ajak Fanda. Aku menurut saja. Saat kami sampai di ambang pintu kelas, Fanda pamit untuk ke toilet dulu. Terpaksa, aku masuk ke kelas yang hanya ada Madison.
“Hhh….”
“Hei!” teriak Madison. “Masuk kelas enggak ketuk pintu dulu! Nggak tahu sopan santun banget sih, kamu!” ejek Madison.
Aku hanya terus berjalan dan duduk di bangkuku sendiri. “Memang ini kelas kepunyaan nenekmu, Madie?! Hah!” Aku sudah sangat kesal dengan dia. Sabar Cheiril… sabar…, ujarku dalam hati. Madison hanya diam terpaku. Syukurlah kalau dia tida, menantangku seperti kemarin.
“Hei!” teriak Madison. “Masuk kelas enggak ketuk pintu dulu! Nggak tahu sopan santun banget sih, kamu!” ejek Madison.
Aku hanya terus berjalan dan duduk di bangkuku sendiri. “Memang ini kelas kepunyaan nenekmu, Madie?! Hah!” Aku sudah sangat kesal dengan dia. Sabar Cheiril… sabar…, ujarku dalam hati. Madison hanya diam terpaku. Syukurlah kalau dia tida, menantangku seperti kemarin.
Saat pulang sekolah….
“Aku dulu yang keluar, Cheiril jelek!” seru Madison. “Aku dulu, Madison sombong!” seruku tak mau kalah. Kami berebut siapa dulu yang keluar kelas. Akhirnya, aku mengalah. Si Sombong Madison itu tersenyum penuh kemenangan. Rupanya, ia mulai sombong lagi. Tak capek-capeknya ya, dia sombong seperti itu? Aku keluar kelas dengan pipi yang sudah basah oleh air mataku. Aku menengok ke belakang, dan melihat Madison menampakkan wajah bersalah. Tak biasanya ia seperti itu. Wajah bersalah? Tidak mungkin! Madison itu sombongnya minta ampun deh! Mana mungkin dia bisa menampakkan wajah bersalah kepadaku? Rasanya mustahil! Aku terus berlari.
Tiba-tiba, Madison menepuk pundakku dan memanggil namaku. Aku kaget bukan main. Madison mau memegang temannya? Apalagi menepuk pundak temannya? Tak mungkin! Itu bukan Madison yang kukenal. Atau mungkin, dia sudah berubah ya? Ah, lupakan saja. “Cheiril…” panggil Madison. Aku menatap dia dengan tampang masih kesal.
“Apaan sih, pegang-pegang?!” seruku galak.
“Mm… ma… maafkan aku ya, Cheiril… Ak… aku… aku banyak salah sama kamu… Ssse.. sekali lagi, ma.. ma… maaf ya…,” ujarnya sambil menunduk.
Aku tak hiraukan ia, dan aku langsung berlalu. Tetapi, aku mendengat suara isakkan tangis. Dan, kulihat… Oh My God! Madison menangis! Mustahil! Aku berusaha menghampirinya. “Madison?” tanyaku. Ia menatapku dengan rasa bersalah yang amat dalam. Aku bisa merasakannya.
“Cheiril… Aku mohon… Maafkan aku, ya…” pintanya tulus.
“Apa? Kamu benar-benar Madison, kan? Kamu bohong, ya? Kamu menjebakku, ya?” tebakku.
Ia menggeleng lemah. “Sekali lagi, aku minta maaf kepadamu, Cheiril… Maafkan aku…”
Aku masih tak percaya. Tetapi, ya sudahlah. Aku maafkan dia. “Asal, kamu tidak mengulangi perbuatanmu dulu lagi, ya?”
“Janji!”
Kami berpelukkan. Senangnya, Madison dapat berubah…
“Aku dulu yang keluar, Cheiril jelek!” seru Madison. “Aku dulu, Madison sombong!” seruku tak mau kalah. Kami berebut siapa dulu yang keluar kelas. Akhirnya, aku mengalah. Si Sombong Madison itu tersenyum penuh kemenangan. Rupanya, ia mulai sombong lagi. Tak capek-capeknya ya, dia sombong seperti itu? Aku keluar kelas dengan pipi yang sudah basah oleh air mataku. Aku menengok ke belakang, dan melihat Madison menampakkan wajah bersalah. Tak biasanya ia seperti itu. Wajah bersalah? Tidak mungkin! Madison itu sombongnya minta ampun deh! Mana mungkin dia bisa menampakkan wajah bersalah kepadaku? Rasanya mustahil! Aku terus berlari.
Tiba-tiba, Madison menepuk pundakku dan memanggil namaku. Aku kaget bukan main. Madison mau memegang temannya? Apalagi menepuk pundak temannya? Tak mungkin! Itu bukan Madison yang kukenal. Atau mungkin, dia sudah berubah ya? Ah, lupakan saja. “Cheiril…” panggil Madison. Aku menatap dia dengan tampang masih kesal.
“Apaan sih, pegang-pegang?!” seruku galak.
“Mm… ma… maafkan aku ya, Cheiril… Ak… aku… aku banyak salah sama kamu… Ssse.. sekali lagi, ma.. ma… maaf ya…,” ujarnya sambil menunduk.
Aku tak hiraukan ia, dan aku langsung berlalu. Tetapi, aku mendengat suara isakkan tangis. Dan, kulihat… Oh My God! Madison menangis! Mustahil! Aku berusaha menghampirinya. “Madison?” tanyaku. Ia menatapku dengan rasa bersalah yang amat dalam. Aku bisa merasakannya.
“Cheiril… Aku mohon… Maafkan aku, ya…” pintanya tulus.
“Apa? Kamu benar-benar Madison, kan? Kamu bohong, ya? Kamu menjebakku, ya?” tebakku.
Ia menggeleng lemah. “Sekali lagi, aku minta maaf kepadamu, Cheiril… Maafkan aku…”
Aku masih tak percaya. Tetapi, ya sudahlah. Aku maafkan dia. “Asal, kamu tidak mengulangi perbuatanmu dulu lagi, ya?”
“Janji!”
Kami berpelukkan. Senangnya, Madison dapat berubah…
Lama-kelamaan, kamk semakin akrab dan akrab. Sampai akhirnya, kami memutuskan untuk bersahabat. Lalu, Mischa akan kembali lusa. Senangnyaaa, aku dapat bertemu kembali dengan Mischa…
Lusa pun datang…
“MISCHAAAAA…!!!” Aku dan Mischa berpelukkan sangaaaat erat. “Aku rindu kamu, Mischa….”
“Aku juga, Cher….”
Tiba-tiba saja, Madison memeluk Mischa. “Hei! Lepaskan pelukanmu, Madison!” bentak Mischa.
Madison terlihat sedih.
“Mischa, kamu tahu tidak? Madison sudah berubah total, lho… Dan, dia sekarang sudah bersahabat dengan kita… Terima dia ya?” ujarku memberitahukan.
“Apa?! Maafkan aku ya, Madison… Kukira, kamu belum berubah…” sesal Mischa.
“Tak apa, Mischa. Aku tahu kok. Sekarang, kita bertiga bersahabat kan?”
“Pasti!”
Kami bertiga berpelukkan sangat erat. Persahabatan kami tidak akan retak untuk selamanya dan apapun yang terjadi… I love you, Mischa and Madison…
“MISCHAAAAA…!!!” Aku dan Mischa berpelukkan sangaaaat erat. “Aku rindu kamu, Mischa….”
“Aku juga, Cher….”
Tiba-tiba saja, Madison memeluk Mischa. “Hei! Lepaskan pelukanmu, Madison!” bentak Mischa.
Madison terlihat sedih.
“Mischa, kamu tahu tidak? Madison sudah berubah total, lho… Dan, dia sekarang sudah bersahabat dengan kita… Terima dia ya?” ujarku memberitahukan.
“Apa?! Maafkan aku ya, Madison… Kukira, kamu belum berubah…” sesal Mischa.
“Tak apa, Mischa. Aku tahu kok. Sekarang, kita bertiga bersahabat kan?”
“Pasti!”
Kami bertiga berpelukkan sangat erat. Persahabatan kami tidak akan retak untuk selamanya dan apapun yang terjadi… I love you, Mischa and Madison…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar